Apa kesibukan Anda akhir-akhir ini?
Saat ini, selain sebagai dosen di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, saya juga sebagai Pengasuh Rumah Kearifan (House of Wisdom) yang didirikan bersama istri saya, Ziadatul Husnah di Yogyakarta. Selain itu, saya juga sebagai konsultan pendidikan di berbagai lembaga pendidikan seperti sekolah, madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi.
Bagaimana awal mula Anda mengenal LVE?
Tahun 2009, saya ditawari pelatihan Living Values Education oleh Budhy Munawar-Rachman. Kebetulan ketika itu saya dan Budhy punya program bersama di beberapa provinsi tentang mainstreaming madrasah dan pesantren melalui civic values-based community development seperti gender equity, human rights, civil society, democracy, dan pluralism. Melalui program ini kita ingin membiasakan civic values melalui aktivitas pemberdayaan masyarakat yang ada di sekitar madrasah dan pesantren. Kami merasa LVE menjadi salah satu pendekatan yang penting untuk dikenalkan agar nilai-nilai universal tersebut lebih mudah diimplemetasikan. Hal itu membuat saya ikut pelatihan LVE selama 4 hari di UIN Sunan Kalijaga dengan Trainer LVE saat itu, Taka Nurdiana Gani.
Sejak kapan Anda menjadi Trainer dan mengapa Anda mau berkomitmen menjadi Trainer LVE?
Tahun 2011 saya mendapatkan sertifikat setelah mengikuti Train the Trainer (TTT) di Sekolah Madania dengan trainer dari Singapura, Kana Gopal. Sebelum menjadi trainer LVE saya aktif sebagai trainer pembelajaran aktif (active learning) di berbagai lembaga mulai dari sekolah tingkat dasar sampai perguruan tinggi di berbagai provinsi di Indonesia. Menurut saya LVE merupakan ruh atau spirit yang perlu menjadi fondasi dalam kegiatan pembelajaran, khususnya active learning. Sebab, sejauh ini, active learning lebih menekankan pada aktivitas pembelajaran yang variatif, tetapi ada sesuatu yang “terlupakan” atau bahkan “hilang” yaitu roh dari aktivitas itu sendiri. Sebagai contoh, mengapa memilih jigsaw learning? apa pentingnya bagi siswa atau peserta didik. Apa pentingnya memilih gallery of learning? apa urgensinya? Sejauh ini berbagai strategi pembelajaran tersebut lebih menekankan pada langkah atau tahapan yang bersifat teknis, padahal ada yang jauh lebih penting dari sebuah langkah, yaitu nilai itu sendiri. Mengapa memilih gallery of learning dalam pembelajaran? Karena kita ingin membiasakan nilai kreatifitas, menghargai, kerja sama, toleransi, peduli, dan proaktif. Karena itu, sebelum memilih sebuah strategi pembelajaran, yang pertama perlu menjadi pertimbangan adalah “nilai-nilai apa yang sedang dibutuhkan oleh peserta didik”, bukan sekedar memilih dan menerapkan strategi pembelajaran tersebut. Ini yang menjadikan saya “jatuh hati” dan berkomitmen dengan LVE sampai saat ini.
Apa harapan Anda untuk LVE di Indonesia?
Sejauh ini, menurut saya LVE merupakan pendekatan paling tepat dalam pendidikan karakter. Karena itu, pendekatan ini perlu dipahami, dihayati, dan diimplementasikan oleh setiap orang di Indonesia, bukan hanya dalam konteks pendidikan baik informal, formal maupun non-formal, tetapi pendekatan ini juga perlu diiimplementasikan di semua aspek kehidupan seperti ekonomi, budaya, hukum, seni, dan politik. Untuk itu, mengenalkan pendekatan LVE ini penting terus dilakukan ke semua pihak. Tentu ini membutuhkan proses sebab perlu perubahan paradigma dan komitmen kuat dalam konteks ini. Sekecil apa pun peran dan posisi kita, kita bisa terus mengenalkan pendekatan ini dengan cara “menghidupkan nilai-nilai” dalam diri kita sendiri agar kita bisa menjadi living model. Kita perlu membiasakan diri menjadi “positive energy generator” agar kita bisa menjadi “positive energy transmitter” kepada semua pihak, di mana pun kita berada, apa pun peran yang kita mainkan. Langkah keseribu tidak akan tercapai tanpa langkah pertama. Di mana ada kemauan di situ pasti akan ada jalan.